Bismillahir-Rahmaanir-Rahim ...
Sebagai seorang khalifah pengganti Abu bakar pada tahun 634 H kekuasaan
islam tumbuh dengan sangat pesat. Islam mengambil alih Mesopotamia dan
sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia serta
mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari
kekaisaran Romawi (Byzantium).
Keberhasilan Umar bin Khattab
dalam menaklukan imperium besar (Persia dan Romawi) tidak lepas dari
sosoknya yang tegas, dan sangat bersahaja.
Berikut kami kisahkan beberapa contoh teladan dari Umar bin khattab.
HURMUZAN dan UMAR BIN KHATTAB ....
Dengan ditemani Anas Bin Malik, Hurmuzan datang dengan kebesaran dan
kemegahannya. Dengan diikuti pemuka-pemuka terkenal dan seluruh anggota
keluarganya, Hurmuzan memasuki Madinah dengan menampilkan keagungan dan
kemuliaan seorang raja.
Perhiasan yang bertatah permata melekat
di dahi. Sementara mantel sutra yang mewah menutupi pundaknya.Sementara
itu sebilah pedang bengkok dengan hiasan batu-batu mulia menggantung
disabuknya.
Ia bertanya-tanya dimana Amirul Mu’minin bertempat
tinggal. Ia membayangkan bahwa Umar bin Khattab yang kemasyhurannya
tersebar keseluruh dunia pasti tinggal di Istana yang sangat megah.
Sampai di Madinah mereka langsung menuju tempat kediaman Umar. Tetapi
mereka diberitahu bahwa Umar sudah pergi ke Masjid sedang menerima
delegasi dari Kufah.
Mereka pun bergegas ke Masjid. Tetapi
tidak juga bertemu Umar. Melihat rombongan itu, anak-anak di Madinah
mengerti maksud kedatangan mereka. Lalu diberitahukan bahwa Amirul
Mu’minin sedang tidur di beranda kanan masjid dengan menggunakan
mantelnya sebagai bantal seorang diri.
Betapa terkejutnya
Hurmuzan, ketika ditunjukan bahwa Umar adalah lelaki yang berpakaian
seadanya yang tidur di Masjid itu. Hurmuzan beserta rombongannya nyaris
tak percaya, tetapi memang itulah kenyataannya.
Sambil berdecak
kagum Hurmuzan mengatakan, “Engkau, wahai Umar, telah memerintah dengan
adil, lalu engkau aman dan engkau pun bisa tidur dengan nyaman”.
TUNJANGAN UNTUK UMAR BIN KHATTAB ...
Tatkala ‘Umar ibn al-Khaththâb r.a. diangkat menjadi Khalifah,
ditetapkanlah baginya tunjangan sebagaimana yang pernah diberikan kepada
Khalifah sebelumnya, yaitu Abû Bakar r.a.
Pada suatu saat,
harga-harga barang di pasar mulai merangkak naik. Tokoh-tokoh Muhajirin
seperti ‘Utsmân, ‘Alî, Thalhah, dan Zubair berkumpul serta menyepakati
sesuatu. Di antara mereka ada yang berkata, “Alangkah baiknya jika kita
mengusulkan kepada ‘Umar agar tunjangan hidup untuk beliau
dinaikkan.Jika ‘Umar menerima usulan ini, kami akan menaikkan tunjangan
hidup beliau.”‘
Alî kemudian berkata, “Alangkah bagusnya jika
usulan seperti ini diberikan pada waktu-waktu yang telah lalu.”Setelah
itu, mereka berangkat menuju rumah ‘Umar. Namun, Utsmân menyela seraya
berkata, “Sebaiknya usulan kita ini jangan langsung disampaikan kepada
‘Umar. Lebih baik kita memberi isyarat lebih dulu melalui puteri beliau,
Hafshah. Sebab, saya khawatir, ‘Umar akan murka kepada kita.”
Mereka lantas menyampaikan usulan tersebut kepada Hafshah seraya
memintanya untuk bertanya kepada ‘Umar, yakni tentang bagaimana
pendapatnya jika ada seseorang yang mengajukan usulan mengenai
penambahan tunjangan bagi Khalifah ‘Umar.“Apabila beliau menyetujuinya,
barulah kami akan menemuinya untuk menyampaikan usulan tersebut. Kami
meminta kepadamu untuk tidak menyebutkan nama seorang pun di antara
kami,” demikian kata mereka.
Ketika Hafshah menanyakan hal itu
kepada ‘Umar, beliau murka seraya berkata, “Siapa yang mengajari engkau
untuk menanyakan usulan ini?”Hafshah menjawab, “Saya tidak akan
memberitahukan nama mereka sebelum Ayah memberitahukan pendapat Ayah
tentang usulan itu.
Umar kemudian berkata lagi, “Demi Allah,
andaikata aku tahu siapa orang yang mengajukan usulan tersebut, aku
pasti akan memukul wajah orang itu.”Setelah itu, ‘Umar balik bertanya
kepada Hafshah, istri Nabi saw., “Demi Allah, ketika Rasulullah saw.
masih hidup, bagaimanakah pakaian yang dimiliki oleh beliau di
rumahnya?”
Hafshah menjawab, “Di rumahnya, beliau hanya
mempunyai dua pakaian. Satu dipakai untuk menghadapi para tamu dan satu
lagi untuk dipakai sehari-hari.”‘Umar bertanya lagi, “Bagaimana makanan
yang dimiliki oleh Rasulullah?”Hafshah menjawab, “Beliau selalu makan
dengan roti yang kasar dan minyak samin.”‘
Umar kembali
bertanya, “Adakah Rasulullah mempunyai kasur di rumahnya?”Hafshah
menjawab lagi, “Tidak, beliau hanya mempunyai selimut tebal yang dipakai
untuk alas tidur di musim panas. Jika musim dingin tiba, separuhnya
kami selimutkan di tubuh, separuhnya lagi digunakan sebagai alas
tidur.”‘Umar kemudian melanjutkan perkataannya,
“Hafshah,
katakanlah kepada mereka, bahwa Rasulullah saw. selalu hidup sederhana.
Kelebihan hartanya selalu beliau bagikan kepada mereka yang berhak. Oleh
karena itu, aku pun akan mengikuti jejak beliau. Perumpamaanku dengan
sahabatku—yaitu Rasulullah dan Abû Bakar—adalah ibarat tiga orang yang
sedang berjalan.
Salah seorang di antara ketiganya telah sampai
di tempat tujuan, sedangkanyang kedua menyusul di belakangnya. Setelah
keduanya sampai, yang ketiga pun mengikuti perjalanan keduanya.
Ia menggunakan bekal kedua kawannya yangterdahulu. Jika ia puas dengan
bekal yang ditinggalkan kedua kawannya itu, ia akan sampai di tempat
tujuannya, bergabung dengan kedua kawannya yang telah tiba lebih dahulu.
Namun, jika ia menempuh jalan yang lain, ia tidak akan bertemu dengan
kedua kawannya itu di akhirat.”(Sumber: Târîkh ath-Thabarî, jilid I,
hlm. 164).
UMAR r.a DAN RAKYAT YANG KELAPARAN ...
Suatu malam, Sang Khalifah menemukan sebuah gubuk kecil yang dari
dalamnya nyaring terdengar suara tangis anak-anak. Umar mendekat dan
memerhatikan dengan seksama keadaan gubuk itu. Ia dapat melihat ada
seorang ibu yang dikelilingi anak-anaknya.
Ibu itu kelihatan
sedang memasak sesuatu. Tiap kali anak-anaknya menangis, sang Ibu
berkata, “Tunggulah! Sebentar lagi makanannya akan matang.”
Selagi Umar memerhatikan di luar, sang ibu terus menenangkan
anak-anaknya dan mengulangi perkataannya bahwa makanan sebentar lagi
akan matang.
Umar menjadi penasaran. Setelah memberi salam dan
meminta izin, dia memasuki gubuk itu dan bertanya kepada sang ibu,
"Mengapa anak-anak Ibu tak berhenti menangis?”
“Itu karena mereka sangat lapar,” jawab si ibu.
“Mengapa tidak ibu berikan makanan yang sedang Ibu masak sedari tadi itu?”
“Tidak ada makanan. Periuk yang sedari tadi saya masak hanya berisi
batu untuk mendiamkan anak-anak. Biarlah mereka berpikir bahwa periuk
itu berisi makanan. Mereka akan berhenti menangis karena kelelahan dan
tertidur.”
“Apakah Ibu sering berbuat begini?” tanya Umar ingin tahu.
“Ya. Saya sudah tidak memiliki keluarga ataupun suami tempat saya
bergantung. Saya sebatang kara,” jawab si ibu datar, berusaha
menyembunyikan kepedihan hidupnya.
“Mengapa Ibu tidak meminta
pertolongan kepada Khalifah? Sehingga beliau dapat menolong Ibu beserta
anak-anak Ibu dengan memberikan uang dari Baitul Mal? Itu akan sangat
membantu kehidupan ibu dan anak-anak,” nasihat Umar.
“Khalifah telah berbuat zalim kepada saya,” jawab si ibu.
“Bagaimana Khalifah bisa berbuat zalim kepada ibu?” sang Khalifah ingin tahu
“Saya sangat menyesalkan pemerintahannya. Seharusnya ia melihat kondisi
rakyatnya dalam kehidupan nyata. Siapa tahu, ada banyak orang yang
senasib dengan saya.”
Umar berdiri dan berkata, “Tunggu sebentar, Bu. Saya akan segera kembali!”
Pada malam yang telah larut itu, Umar segera bergegas ke Madinah,
menuju Baitul Mal. Ia segera mengangkat sekarung gandum yang besar di
pundaknya. Abbas, sahabatnya membantu membawa minyak samin untuk
memasak.
Maka, ketika Khalifah menyerahkan sekarung gandum yang
besar kepada si ibu beserta anak-anaknya yang miskin, bukan main
gembiranya mereka menerima bahan makanan dari lelaki yang tidak dikenal
ini.
Umar berpesan agar ibu itu datang menemui Khalifah keesokan harinya untuk mendaftarkan dirinya dan anak-anaknya di Baitul Mal.
Setelah keesokan harinya, ibu dan anak-anaknya pergi untuk menemui
Khalifah. Dan betapa sangat terkejutnya si ibu begitu menyaksikan bahwa
lelaki yang telah menolongnya tadi malam adalah Khalifahnya sendiri,
Khalifah Umar bin Khattab.
Segera saja si ibu minta maaf atas
kekeliruannya yang telah menilai bahwa khalifahnya zalim terhadapnya.
Namun Sang Khalifah tetap mengaku bahwa dirinyalah yang telah bersalah.
MENGGALI PARIT SEORANG DIRI ...
Umar bin Khattab tidak saja di kenal sebagai khalifah yang berwibawa,
tapi juga sederhana dan merakyat. Untuk mengetahui keadaan rakyatnya,
Umar tak segan-segan menyamar jadi rakyat biasa.
Ia sering
berjalan-jalan ke pelosok desa seorang diri. Pada saat seperti itu tak
seorang pun mengenalinya bahwa ia sesungguhnya kepala pemerintahan.
Kalau ia menjumpai rakyatnya sedang kesusahan, ia pun segera memberi
bantuan.
Umar sadar, apa yang ada di tangannya saat itu
bukanlah miliknya melainkan milik rakyat. Untuk itu Umar melarang keras
anggota keluarganya berfoya-foya. Ia selalu berhemat dalam menggunakan
keperluannya sehari-hari. Karena hematnya, untuk menggunakan lampu saja
keluarga amirulmukminin ini amat berhati-hati. Lampu minyak itu baru
dinyalakan bila ada pembicaraan penting. Jika tidak, lebih baik tidak
pakai lampu.
“Anak-anakku, lebih baik kita bicara dalam gelap.
Sebab, minyak yang digunakan untuk menyalakan lampu ini milik rakyat!”
sahut khalifah ketika anaknya ingin bicara di tengah malam.
Dalam hidupnya, Umar senantiasa memegang teguh amanat yang diembankan
rakyat di pundaknya. Pribadi Umar yang begitu mulia terdengar
dimana-mana. Seluruh rakyat sangat menghormatinya. Rupanya, cerita
tentang keagungan Khalifah Umar ini terdengar pula oleh seorang raja
negara tetangga. Raja tertarik dan ingin sekali bertemu dengan Umar.
Maka pada suatu hari dipersiapkanlah tentara kerajaan untuk mengawalnya
berkunjung ke pemerintahan Umar. Ketika raja itu sampai di gerbang kota
Madinah, dilihatnya seorang lelaki sedang sibuk menggali parit dan
membersihkan got di pinggir jalan. Lalu, di panggilnya laki-laki itu.
“Wahai saudaraku!” seru raja sambil duduk di atas pelana kuda kebesarannya.
“Bisakah kau menunjukkan di mana letak istana dan singgasana Umar?”
tanyanya kemudian. Lelaki itu segera menghentikan pekerjaannya. Lalu, ia
memberi hormat.
“Wahai Tuan, Umar manakah yang Tuan
maksudkan?” si penggali parit balik bertanya.” Umar bin Khattab kepala
pemerintahan kerajaan Islam yang terkenal bijaksana dan gagah berani,”
kata raja. Lelaki penggali parit itu tersenyum. “Tuan salah terka. Umar
bin Khattab kepala pemerintahan Islam sebenarnya tidak punya istana dan
singgasana seperti yang tuan duga. Ia orang biasa seperti saya,” terang
si penggali parit,”.
“Ah benarkah? Mana mungkin kepala
pemerintahan Islam yang terkenal agung seantero negeri itu tak punya
istana?” raja itu mengerutkan dahinya.
“Tuan tidak percaya? Baiklah, ikuti saya,” sahut penggali parit itu.
Lalu diajaknya rombongan raja itu menuju “istana” Umar. Setelah
berjalan menelusuri lorong-lorong kampung, pasar, dan kota, akhirnya
mereka tiba di depan sebuah rumah sederhana. Diajaknya tamu kerajaan itu
masuk dan dipersilakannya duduk. Penggali parit itu pergi ke belakang
dan ganti pakaian. Setelah itu ditemuinya tamu kerajaan itu. “Sekarang
antarkanlah kami ke kerajaan Umar!”kata raja itu tak sabar.
Penggali parit tersenyum. “Tuan raja, tadi sudah saya katakan bahwa Umar
bin Khattab tidak mempunyai kerajaan. Bila tuan masih juga bertanya di
mana letak kerajaan Umar itu, maka saat ini juga tuan-tuan sedang berada
di dalam istana Umar!”
Hah?!” Raja dan para pengawalnya
terbelalak. Tentu saja mereka terkejut. Sebab, rumah yang di masukinya
itu tidak menggambarkan sedikitpun sebagai pusat kerajaan. Meski rumah
itu tampak bersih dan tersusun rapi, namun sangat sederhana.
Rupanya raja tak mau percaya begitu saja. Ia pun mengeluarkan pedangnya. Lalu berdiri sambil mengacungkan pedangnya.
“Jangan coba-coba menipuku! Pedang ini bisa memotong lehermu dalam sekejap!” ancamnya melotot.
Penggali parit itu tetap tersenyum. Lalu dengan tenangnya, ia pun
berdiri.” Di sini tidak ada rakyat yang berani berbohong. Bila ada, maka
belum bicara pun pedang telah menebas lehernya. Letakkanlah pedang
Tuan. Tak pantas kita bertengkar di istana Umar,” kata penggali parit.
Dengan tenang ia memegang pedang raja dan memasukkannya kembali pada
sarungnya.
Raja terkesima melihat keberanian dan ketenangan si
penggali parit. Antara percaya dan tidak, dipandanginya wajah penggali
parit itu. Lantas, ia menebarkan kembali pandangannya menyaksikan
“istana” Umar itu. Muncullah pelayan-pelayan dan pengawal-pengawal untuk
menjamu mereka dengan upacara kebesaran. Namun, raja itu belum juga
percaya.
“Benarkah ini istana Umar?”tanyanya pada pelayan-pelayan.
“Betul, Tuanku, inilah istana Umar bin Khattab,” jawab salah seorang pelayan.
“Baiklah,” katanya. Raja memang harus mempercayai ucapan pelayan itu.
“Tapi, dimanakah Umar? Tunjukkan padaku, aku ingin sekali bertemu dengannya dan bersalaman dengannya!” ujar sang raja.
Dengan sopan pelayan itu pun menunjuk ke arah lelaki penggali parit
yang duduk di hadapan raja.” Yang duduk di hadapan Tuan adalah Khalifah
Umar bin Khattab” sahut pelayan itu.
“Hah?!” Raja kini benar-benar tercengang. Begitu pula para pengawalnya.
“Jad…jadi, anda Khalifah Umar itu…?” tanya raja dengan tergagap.
Si penggali parit mengangguk sambil tersenyum ramah.
“Sejak kita pertemu pertama kali di pintu gerbang kota Madinah,
sebenarnya Tuan sudah berhadapan dengan Umar bin Khattab!” ujarnya
dengan tenang.
Kemudian raja itu pun langsung menubruk Umar dan
memeluknya erat sekali. Ia sangat terharu bahkan menangis melihat
kesederhanaan Umar. Ia tak menyangka, Khalifah yang namanya disegani di
seluruh negeri itu, ternyata rela menggali parit seorang diri di pinggir
kota.
Sejak itu, raja selalu mengirim rakyatnya ke kota Madinah untuk mempelajari agama Islam.
MAKANAN ENAK UNTUK KHALIFAH ...
Kisah Umar bin Khattab bisa menjadi cermin bagi kita. Ketika Utbah bin
Farqad, Gubernur Azerbaijan, di masa pemerintahan Umar bin Khattab
disuguhi makanan oleh rakyatnya. Kebiasaan yang lazim kala itu. Dengan
senang hati gubernur menerimanya seraya bertanya “Apa nama makanan
ini?”. “Namanya Habish, terbuat dari minyak samin dan kurma”, jawab
salah seorang dari mereka.
Sang Gubernur segera mencicipi
makanan itu. Sejenak kemudian bibirnya menyunggingkan senyum.
“Subhanallah” Betapa manis dan enak makanan ini. Tentu kalau makanan ini
kita kirim kepada Amirul Mukminin Umar bin Khattab di Madinah dia akan
senang, ujar Utbah.
Kemudian ia memerintahkan rakyatnya untuk
membuat makanan dengan kadar yang diupayakan lebih enak. Setelah makanan
tersedia, sang gubenur memerintahkan anak buahnya untuk berangkat ke
madinah dan membawa habish untuk Khaliofah Umar bin Khattab. Sang
khalifahsegera membuka dan mencicipinya. “Makanan Apan ini?” tanya Umar.
“Makanan ini namanya Habish. Makanan paling lezat di Azerbaijan,” jawab salah seorang utusan.
“Apakah seluruh rakyat Azerbaijan bia menikmati makanan ini?’, tanya Umar lagi.
“Tidak. tidak semua bisa menikmatinya”, jawab utusan itu gugup
Wajah Khalifah langsung memerah pertanda marah. Ia segera memrintahkan
kedua utusan itu untuk membawa kembali habish ke negrinya. Kepada
Gubernurnya ia menulis surat “………makanan semanis dan seselezat ini bukan
dibuat dari uang ayah dan ibumu. Kenyangkan perut rakyatmu dengan
makanan ini sebelum engkau mengenyangkan perutmu”
UMAR r.a DIMATA PEMIMPIN NASRANI ....
Berita kedatangan bala bantuan kepada pasukan Muslim yang tengah
mengepung kota membuat pasukan dan warga Kristen dan Yahudi yang berdiam
di dalam kota menjadi ciut. Mengingat kedudukan Yerusalem sebagai kota
suci, sebenarnya pasukan Muslim enggan menumpahkan darah di kota itu.
Sementara kaum Kristen yang mempertahankan kota itu juga sadar mereka
tidak akan mampu menahan kekuatan pasukan Muslim.
Menyadari
memperpanjang perlawanan hanya akan menambah penderitaan yang sia-sia
bagi penduduk Yerusalem, maka Patriarch Yerusalem, Uskup Agung
Sophronius mengajukan perjanjian damai. Permintaan itu disambut baik
Panglima Amru bin Ash, sehingga Yerusalem direbut dengan damai tanpa
pertumpahan darah setetespun.
Walaupun demikian, Uskup Agung
Sophronius menyatakan kota suci itu hanya akan diserahkan ke tangan
seorang tokoh yang terbaik di antara kaum Muslimin, yakni Khalifah Umar
bin Khattab Radhiyallahu ‘Anhu. Sophronius menghendaki agar Amirul
Mukminin tersebut datang ke Yerusalem secara pribadi untuk menerima
penyerahan kunci kota suci tersebuit.
Biasanya, hal ini akan
segera ditolak oleh pasukan yang menang. Namun tidak demikian yang
dilakukan oleh pasukan Muslim. Bisa jadi, warga Kristen masih trauma
dengan dengan peristiwa direbutnya kota Yerusalem oleh tentara Persia
dua dasawarsa sebelumnya di mana pasukan Persia itu melakukan
perampokan, pembunuhan, pemerkosaan, dan juga penajisan tempat-tempat
suci.
Walau orang-orang Kristen telah mendengar bahwa perilaku
pasukan kaum Muslimin ini sungguh-sungguh berbeda, namun kecemasan akan
kejadian dua dasawarsa dahulu masih membekas dengan kuat. Sebab itu
mereka ingin jaminan yang lebih kuat dari Amirul Mukminin.
Panglima Abu Ubaidah memahami psikologis penduduk Yerusalem tersebut. Ia
segera meneruskan permintaan tersebut kepada Khalifah Umar r.a. yang
berada di Madinah. Khalifah Umar segera menggelar rapat Majelis Syuro
untuk mendapatkan nasehatnya.
Utsman bin Affan menyatakan bahwa
Khalifah tidak perlu memenuhi permintaan itu karena pasukan Romawi
Timur yang sudah kalah itu tentu akhirnya juga akan menyerahkan diri.
Namun Ali bin Abi Thalib berpandangan lain. Menurut Ali, Yerusalem
adalah kota yang sama sucinya bagi umat Islam, Kristen, dan Yahudi, dan
sehubungan dengan itu, maka akan sangat baik bila penyerahan kota itu
diterima sendiri oleh Amirul Mukminin.
Kota suci itu adalah
kiblat pertama kaum Muslimin, tempat persinggahan perjalanan Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Salam pada malam hari ketika beliau ber-isra’ dan
dari kota itu pula Rasulullah ber-mi’raj. Kota itu menyaksikan hadirnya
para anbiya, seperti Nabi Daud, Nabi Sulaiman, dan Nabi Isa.
Umar akhirnya menerima pandangan Ali dan segera berangkat ke Yerusalem.
Sebelum berangkat, Umar menugaskan Ali untuk menjalankan fungsi dan
tugasnya di Madinah selama dirinya tidak ada.
Kepergian
Khalifah Umar hanya ditemani seorang pelayan dan seekor unta yang
ditungganginya bergantian. Ketika mendekati Desa Jabiah di mana panglima
dan para komandan pasukan Muslim telah menantikannya, kebetulan tiba
giliran pelayan untuk menunggang unta tersebut.
Pelayan itu
menolak dan memohon agar khalifah mau menunggang hewan tersebut. Tapi
Umar menolak dan mengatakan bahwa saat itu adalah giliran Umar yang
harus berjalan kaki. Begitu sampai di Jabiah, masyarakat menyaksikan
suatu pemandangan yang amat ganjil yang belum pernah terjadi, ada
pelayan duduk di atas unta sedangkan tuannya berjalan kaki menuntun
hewan tunggangannya itu dengan mengenakan pakaian dari bahan kasar yang
sangat sederhana. Lusuh dan berdebu, karena telah menempuh perjalanan
yang amat jauh.
Di Jabiah, Abu Ubaidah menemui Khalifah Umar.
Abu Ubaidah sangat bersahaya, mengenakan pakaian dari bahan yang kasar.
Khalifah Umar amat suka bertemu dengannya. Namun ketika bertemu dengan
Yazid bin Abu Sofyan, Khalid bin Walid, dan para panglima lainnya yang
berpakaian dari bahan yang halus dan bagus, Umar tampak kurang senang
karena kemewahan amat mudah menggelincirkan orang ke dalam kecintaan
pada dunia.
Kepada Umar, Abu Ubaidah melaporkan kondisi Suriah
yang telah dibebaskannya itu dari tangan Romawi Timur. Setelah itu, Umar
menerima seorang utusan kaum Kristen dari Yerusalem.
Di tempat
itulah Perjanjian Aelia (istilah lain Yerusalem) dirumuskan dan
akhirnya setelah mencapai kata sepakat ditandatangani. Berdasarkan
perjanjian Aelia itulah Khalifah Umar r.a. menjamin keamanan nyawa dan
harta benda segenap penduduk Yerusalem, juga keselamatan gereja, dan
tempat-tempat suci lainnya. Penduduk Yerusalem juga diwajibkan membayar
jizyah bagi yang non-Muslim.
Barang siapa yang tidak setuju,
dipersilakan meninggalkan kota dengan membawa harta-benda mereka dengan
damai. Dalam perjanjian itu ada butir yang merupakan pesanan khusus dari
pemimpin Kristen yang berisi dilarangnya kaum Yahudi berada di
Yerusalem. Ketentuan khusus ini berangsur-angsur dihapuskan begitu
Yerusalem berubah dari kota Kristen jadi kota Muslim.
Perjanjian Aeliasecara garis besar berbunyi: “Inilah perdamaian yang
diberikan oleh hamba Allah ‘Umar, Amirul Mukminin, kepada rakyat Aelia:
dia menjamin keamanan diri, harta benda, gereja-gereja, salib-salib
mereka, yang sakit maupun yang sehat, dan semua aliran agama mereka.
Tidak boleh mengganggu gereja mereka baik membongkarnya, mengurangi,
maupun menghilangkannya sama sekali, demikian pula tidak boleh memaksa
mereka meninggalkan agama mereka, dan tidak boleh mengganggu mereka. Dan
tidak boleh bagi penduduk Aelia untuk memberi tempat tinggal kepada
orang Yahudi.”
Setelah itu, Umar melanjutkan perjalanannya ke
Yerusalem. Lagi-lagi ia berjalan seperti layaknya seorang musafir biasa.
Tidak ada pengawal. Ia menunggang seekor kuda yang biasa, dan menolak
menukarnya dengan tunggangan yang lebih pantas.
Di pintu
gerbang kota Yerusalem, Khalifah Umar disambut Patriarch Yerusalem,
Uskup Agung Sophronius, yang didampingi oleh pembesar gereja, pemuka
kota, dan para komandan pasukan Muslim. Para penyambut tamu agung itu
berpakaian berkilau-kilauan, sedang Umar hanya mengenakan pakaian dari
bahan yang kasar dan murah.
Sebelumnya, seorang sahabat telah
menyarankannya untuk mengganti dengan pakaian yang pantas, namun Umar
berkata bahwa dirinya mendapatkan kekuatan dan statusnya berkat iman
Islam, bukan dari pakaian yang dikenakannya. Saat Sophronius melihat
kesederhanaan Umar, dia menjadi malu dan mengatakan, “Sesungguhnya Islam
mengungguli agama-agama manapun.”
Di depan The Holy Sepulchure
(Gereja Makam Suci Yesus), Uskup Sophronius menyerahkan kunci kota
Yerusalem kepada Khalifa Umar r.a. Setelah itu Umar menyatakan ingin
diantar ke suatu tempat untuk menunaikan shalat. Oleh Sophronius, Umar
diantar ke dalam gereja tersebut. Umar menolak kehormatan itu sembari
mengatakan bahwa dirinya takut hal itu akan menjadi preseden bagi kaum
Muslimin generasi berikutnya untuk mengubah gereja-gereja menjadi
masjid.
Umar lalu dibawa ke tempat di mana Nabi Daud
Alaihissalam konon dipercaya shalat dan Umar pun shalat di sana dan
diikuti oleh umat Muslim. Ketika orang-orang Romawi Bizantium
menyaksikan hal tersebut, mereka dengan kagum berkata, kaum yang begitu
taat kepada Tuhan memang sudah sepantasnya ditakdirkan untuk berkuasa.
“Saya tidak pernah menyesali menyerahkan kota suci ini, karena saya
telah menyerahkannya kepada ummat yang lebih baik …,” ujar Sophronius.
Umar tinggal beberapa hari di Yerusalem. Ia berkesempatan memberi
petunjuk dalam menyusun administrasi pemerintahan dan yang lainnya. Umar
juga mendirikan sebuah masjid pada suatu bukit di kota suci itu. Masjid
ini sekarang disebut sebagai Masjid Umar.
Pada upacara
pembangunan masjid itu, Bilal r.a. – bekas budak berkulit hitam yang
sangat dihormati Khalifah Umar melebihi dirinya – diminta
mengumandangkan adzan pertama di bakal tempat masjid yang akan
didirikan, sebagaimana adzan yang biasa dilakukannya ketika Rasulullah
masih hidup.
Setelah Rasulullah saw wafat, Bilal memang tidak
mau lagi mengumandangkan adzan. Atas permintaan Umar, Bilal pun
melantunkan adzan untuk menandai dimulainya pembangunan Masjid Umar.
Saat Bilal mengumandangkan adzan dengan suara yang mendayu-dayu, Umar
dan kaum Muslimin meneteskan air mata, teringat saat-saat di mana
Rasulullah masih bersama mereka. Ketika suara adzan menyapu bukit dan
lembah di Yerusalem, penduduk terpana dan menyadari bahwa suatu era baru
telah menyingsing di kota suci tersebut.
... Semoga tulisan ini dapat membuka pintu hati kita yang telah lama terkunci ...
Sumber: http://www.facebook.com/pages/Apple/477855078905825
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment