Monday, February 16, 2015

Detik-detik Wafatnya Rasulullah SAW: "Ummatii, Ummatii, Ummatii!"

Usai khutbah singkatnya nan penuh haru, kedua bola matanya teduh menatap satu persatu sahabatnya yang sedari tadi menahan tangis disertai desahan hati oleh kekhawatiran.
Bagaimana tidak? Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya.
Kala turun dari mimbar, tubuhnya melemah dan limbung.

Saat itu, seluruh pemilik hati yang senantiasa mencintainya seakan ingin menahan tiap detik yang berlalu, mengembalikkan waktu jika bisa.

Sementara itu, di atas pelepah kurma, badannya terbaring lemah disertai piluh yang membasahi keningnya. Tatkala momen haru itu berlangsung, tiba-tiba terdengar seruan salam dari balik daun pintu, meminta izin tuk diperkenankan masuk.
Namun putri bungsunya tak mengizinkan, khawatir kesehatan ayahnya mungkin memburuk oleh besukan seseorang.

Dengan pandangan yang menggetarkan, ia menanyakan keberadaan tamu yang tak dikenali putri bungsunya tadi. Lalu memberitahukan identitas tamu itu yang sebenarnya.
“Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut,” ujarnya lembut.

Izrail memberi salam dan mengetuk daun pintu rumahnya. Sesosok malaikat maut meminta izin kepadanya, ketika hendak memisahkan ruh dan raganya.
Beliaulah Rasulullah SAW. manusia terpuji di muka bumi, sebaik-baik teladan seluruh umat manusia. Sedangkan wanita mulia yang berada di sisinya, yang terus menahan ledak tangisnya adalah Fatimah az Zahra.

Tak mendapati Malaikat Jibril ketika Izrail menghampiri, Rasulullah menanyakan mengapa Jibril tak menyertainya. Jibril yang sudah bersiap di langit menyambut ruh kekasih Allah pun dipanggil turun. Jibril turun membawa kabar nikmat terindah. Di langit sana, telah disiapkan hak-hak Rasulullah. “Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti ruhmu, semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu,” jelasnya.

Kabar nikmat tiada tara itu, tak membuat benak Rasulullah lega, matanya masih penuh kekhawatiran. Ternyata yang dipikirkannya bukanlah nikmat yang pasti akan ia temui, beliau SAW. tak memikirkan dirinya bahkan di detik-detik terakhir nafasnya.

“Kabarkan kepadaku bagaimana nasib ummatku kelak?,” suaranya bergetar cemas.

Ya, yang beliau khawatirkan bukanlah wasiat maupun warisan. Melainkan umatnya di masa mendatang, yang belum pernah beliau temui sebelumnya.

Detik itu, saatnya Izrail melaksanakan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Tubuhnya bersimbah piluh, urat-urat lehernya nampak jelas. Beliau mengaduh kesakitan. Mengenai betapa perihnya sakaratul maut. Sakit yang tak tertahankan. Fatimah terpejam mengisak, Ali tertunduk dalam, sedangkan Jibril memalingkan muka, tak sanggup menyaksikan kekasih Allah direnggut ajal.

Merasakan dahsyatnya maut, Rasulullah mengaduh kepada Allah agar semua siksa maut umatnya ditimpakan saja kepadanya. Ternyata cintanya lebih dahsyat.

Beberapa saat, badan Rasulullah mulai mendingin, tubuhnya sudah tak mampu bergerak lagi. Ali mendekatkan telinganya ketika melihat bibir Rasulullulah bergetar hendak membisikkan sesuatu.

“Uushiikum bis-shalaati, wamaa malakat aimaanukum (Peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu.”

“Ummatii, ummatii, ummatii!,”
Dan, panggilan hangat penuh cinta Rasulullah kepada kita (umatnya), menjadi akhir hidup manusia termulia itu di muka bumi. Di luar pintu, ledakan tangis terdengar, para sahabat berpelukan saling menguatkan.

Allaahumma sholli ‘alaa Muhammad wa’alaihi wasahbihi wasallim.






0 comments:

Post a Comment

 

Blog Template by BloggerCandy.com